Friday, May 21, 2010

Muscle Memory (Ust. Herry Nurdi)

Saya sering membayangkan periode-periode dalam Perang Mu’tah sebagai gambaran sebuah film kolosal, penuh tokoh-tokoh heroik dengan kejadian-kejadian yang spektakular. Zaid bin Haritsah bertempur dengan gagah berani, mengangkat tinggi-tinggi panji-panji, sekian banyak tombak yang menancap ditubuhnya. Dia terus maju memimpin, meski tombak dan panah mengucurkan darahnya. Akhirnya, panglima kaum Muslimin Zaid bin Haritsah jatuh juga ke tanah.

Panji-panji Rasulullah segera diambil oleh panglima kedua, Ja’far bin Abi Thalib. Dia bertempur dengan sangat berani. Memimpin pasukan yang hanya berjumlah ribuan, melawan tentara Romawi yang berhimpun lebih dari 200.000 orang. Tangan kanan Ja’far bin Abi Thalib, tertebas pedang. Kini tangan kirinya yang memegang panji-panji sambil terus memimpin pasukan. Lalu tangan kirinya pun, terpotong oleh lawan. Dengan pangkal lengannya kini Ja’far mempertahankan bendera. Akhirnya, Ja’far menemui syahidnya dengan cara mendekap panji dengan pangkal lengkap yang sudah tak bertangan.


Abdullah ibn Rawahah kini mengambil alih kepemimpinan pasukan. Memang sempat terbetik galau dan ragu dalam hatinya. Tapi segera semua itu ditepisnya tak bersisa. Sudah sejak semalam, sesungguhnya Abdullah ibnu Rawahah tak makan. Di diberi sepotong daging oleh saudaranya, di tengah-tengah laga, ”Agar tegak tulang punggungmu menghadapi lawan.”

Tapi ketika dipegangnya daging yang hanya sekerat itu, Abdullah ibnu Rawahah merasa terlalu lama. ”Apakah kau masih sibuk dengan dunia?” pertanyaan itu memburunya. Kemudian dia pun maju mengangkat pedang, dan terbunuh di tengah pertempuran.

Disinilah muncul pertanyaan-pertanyaan besar di tengah peperangan. Rasulullah hanya berpesan, ”Angkatlah Zaid bin Haritsah sebagai panglima. Jika dia terkena musibah, Ja’far bin Abi Thalib yang akan menggantikannya. Dan kalau Ja’far bin Abi Thalib juga terkena musibah, Abdullah ibnu Rawahah yang akan menjadi panglima.” Itu saja persan Rasulullah, tak ada pengganti setelah Abdullah ibnu Rawahah. Padahal kini ketiganya sudah meninggal dunia setelah bertempur dengan gagah.

Terjadi kekosongan pemimpin, dan tentu saja membuat situasi ricuh dan genting. Di tengah-tengan keadaan yang demikian rupa, Tsabit bin Arqam menangkan panji-panji Rasulullah yang tadi dipegang oleh Abdullah ibnu Rawahah. ”Wahai kaum Muslimin, inilah panji-panji Rasulullah! Pilihlah seorang pemimpin di antara kalian!”

Waktu terus berpacu, musuh terus menyerang. Sementara pasukan tak ada komandan. Mendengar teriakan Tsabit bin Arqan, pasukan kaum Muslimin justru menunjuknya sebagai panglima. ”Andalah orangnya!”

”Bukan aku. Aku tak bisa!” jawab Tsabit bin Arqam yang tahu benar menjadi panglima di tengah perang sama sekali bukan urusan gampang.

Kemudian pasukan kaum Muslimin menunjuk Khalid bin Walid sebagai panglima

perang. Khalid segera mengambil panji-panji Rasulullah, dan bertempur dengan gigihnya. Dalam satu kesempatan, Khalid bin Walid pernah mengisahkan betapa dahsyatnya peperangan kala itu. ”Pada waktu Perang Mu’tah, ada sembilan pedang yang hancur di tanganku. Sampai-sampai yang tersisanya di tanganku hanyalah sepotong besi dari Yaman yang aku gunakan untuk berperang,” tuturnya.

Bayangkan, sembilan pedang ia gunakan. Satu per satu pedang hancur, karena lawan yang harus dihadapi memang bukan kepalang. Satu hancur, diambilnya pedang lain. Satu pedang lagi hancur, diambilnya pedang lain. Sampai-sampai yang tersisa hanya sepotong besi Yaman yang ia gunakan untuk berperang.

Dua pasukan bertempur dengan hebatnya sampai menjelang malam. Dan ketika malam, keduanya berhenti untuk mengambil jeda. Panglima Khalid bin Walid menarik pasukan untuk istirahat menjauh dari pasukan musuh. Pasukan Romawi pun tak mengejar, karena hari itu mereka mengalami pengalaman yang belum pernah dirasakan. Pertempuran gigih dari pasukan yang jumlahnya jauh lebih kecil dari kekuatan mereka yang besar.

Panglima Khalid bin Walid segera mengatur strategi yang diterapkannya esok hari. Semalam, sang panglima memerintahkan, agar pasukan yang berada di sayap kiri berpindah ke sayap kanan. Pasukan yang ada di garis belakang, kini maju menggantikan pasukan yang ada di garis depan. Dan ketika matahari pecah, dan dua pasukan kembali berhadap-hadapan, tentara Romawi melihat panji-panji baru di depan mereka. Tentara Romawi melihat wajah-wajah baru yang akan mereka hadapi hari ini. Mereka menyangka, kaum Muslimin mendapatkan bantuan tentara baru semalam. Dan secara mental, hal ini telah menjatuhkan semangat perang mereka yang memang sudah kelelahan.

Ketika peperangan ini berakhir, dan pasukan Muslim kembali ke Madinah, dan pasukan Romawi tidak mengejarnya, para sejarawan mencatatnya sebagai kemenangan tersendiri antara pasukan yang berjumlah kecil dengan tentara Romawi yang hitungannya raksasa. Pasukan Muslimin kehilangan 12 orang pasukan yang syahid di medan laga. Sementara tentara Romawi mengalami kehilangan yang banyak sekali jumlahnya.

Lalu apa hubungannya kisah ini dengan muscle memory? Pernah dengar atau mengetahui apa itu muscle memory?

Muscle memory itu adalah ingatan yang ada dalam setiap jengkal tubuh kita. Setiap syaraf kita menyimpan ingatan-ingatan yang akan membantu segala aktivitas manusia. Salah satu contoh kecilnya adalah, saat kita memencet tuts telepon untuk menghubungi seseorang, ujung jari kita sudah hampir menghapal nomor-nomor siapa yang akan kita hubungi, tanpa perlu melakukan calling memory dari otak besar yang mengendalikan banyak hal. Inilah yang disebut muscle memory.

Khalid bin Walid memiliki muscle memory yang baik dalam hal berinisiatif melakukan sesuatu pada saat-saat yang penting dan genting. Dia memutuskan memimpin pasukan, mengambil alih tampuk panglima, mengatur strategi dan mengoordinir perlawanan. Hitungannya detik, tak bisa menunggu lama, apalagi untuk berpikir mendalam. Karena terlambat berarti kekacauan. Meski demikian, Khalid bin Walid memimpin pasukan dengan gemilang, cerdas, strategis dan penuh ketajaman analisa tentang kondisi lawan.

Tapi tentu saja, respon yang demikian cepat tidak datang tiba-tiba. Perlu pembiasaan dan latihan panjang, serta jam terbang. Dan itulah yang dilakukan oleh Khalid bin Walid sebelum mengambil tanggung jawab besar sebagai panglima pasukan. Dia memang seorang fields commander, komandan lapangan, berpengalaman dan memiliki pengetahuan luas yang mendalam tentang perang. Sehingga, ketika saatnya datang, seluruh tubuhnya bekerja. Setiap muscle dalam tubuhnya mengirimkan memory-memory untuk dijadikan bahan pertimbangan keputusan.

Begitu juga dengan kita, seharusnya. Kita harus melatih diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan mencegah perilaku-perilaku mungkar. Agar setiap jengkal tubuh kita memiliki memory bagaimana harus bersikap dan mengambil keputusan tentang kebaikan atau pada saat menghadapi kemungkaran. Dan pada saatnya kita memimpin, dalam skala apapun, besar atau kecil, maka keputusan-keputusan kita memiliki orientasi yang baik dan benar.

Tapi jika sejak lama kita bersikap acuh pada kemungkaran, bahkan malas pada kebaikan, atau sering berada pada situasi kompromi antara kebenaran dan kebathilan, maka pada saat memimpin, kita bisa menebak hasil pertimbangannya.

Sejak sekarang, mari memulai melatih diri, memperbanyak jam terbang dalam hal melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Agar kelak kita memiliki kemampuan tanpa ragu saat harus memutuskan dan mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Dan yang tak kalah penting, agar kelak setiap jengkal tubuh, dan setiap helai syaraf kita bersaksi di depan Tuhan Semesta Alam, tentang kebaikan-kebaikan yang sudah kita lakukan dan kemungkaran-kemungkaran yang telah kita gagalkan. Mudah-mudahan Allah yang Maha Besar senantiasa memudahkan!

1 comments:

Anonymous said...

Subhaanallah... menginspirasi untuk i'dad

Post a Comment